0

Firasat Kehilangan Guru Kami (2)

Posted by Shofwah on 09.18 in
Tahukah kalian lagu burda “maula ya sholli wa saalim daaimann ‘abada ‘ala habiibika khoiri kholqikul lihimiy… dst” adalah lagu yang biasanya dilantunkan pada saat menyolati orang yang meninggal dunia. Pantas saja bulu kuduk kami jadi merinding semua. Di suasana sekolah yang sangat sepi pada sore hari yang semakin petang, mendukung bulu-bulu kami semakin berdiri. Tanpa ada komando kami semua kompak menurunkan bangku guru yang kami bopong bersama tadi lalu dengan kompak pula kami berlari menuju anak tangga. Huu, padahal tinggal beberapa langkah saja kami melangkah masuk kelas kami. Bangku guru itu kami tinggalkan di depan pintu kelas. “Hooiii, jangan begitulah rek, aku jadi ikut takut ini…, ayoo dilanjutkan lagi!”, seru Ifa. “Aah, tinggal sedikit ajah yuuk kita selesaikan, tak usahlah kamu menakut-nakuti gitu Nik”, kataku kesal pada Nike
yang memulai suasana jadi merinding itu. “Yowes… Ayoo”, Nike berdiri mengomando kami. Begitu kami semua mau masuk kelas tiba-tiba Nike berlari keluar kelas, “Hiii..”. Secepat kilat, tanpa alasan, tanpa pikir panjang kami berlari juga. Huuh, dasar Nike selalu ada-ada saja ulahnya untuk membuat suasana jadi menakutkan. Namun sering juga dengan ulah-ulahnya yang konyol dia bisa merubah suasana menjadi penuh gelak tawa. “Hahaha…hahaha…” kami menertawai tingkah kami yang konyol. “hadeew, ayo rek nanti keburu Maghrib, dicari Bapak ntar”, kata Sisi yang mungkin sudah lelah. Rupanya ia sudah jenuh dengan kegiatan kami hari itu, ia ingin cepat pulang. Rumah Sisi paling jauh banding rumah kami bertiga. Jika kami bertiga biasanya pulang bersama ke arah tengara dari sekolah. Lalu aku dan Ifa akan berpisah dengan Koni di pertigaan dekat rumah pak Kiai. Sedangkan aku akan berpisah dengan Ifa saat sampai di depan rumahku. Sebaliknya Sisi pulang ke arah barat sekolah. Dia harus melewati dua dusun untuk sampai ke rumahnya. Tanpa pikir panjang kami menyelesaikan pekerjaan kami, memasang taplak meja beserta mika plastiknya agar rapi dan meja tidak kotor karena debu kapur. Lalu kami direkatkan dengan paku payung, sehingga jadilah tampilan meja guru menjadi cantik dan teman-teman tidak usah repot-repot bongkar pasang taplaknya tiap hari.
***
“Nduk, sini… tolong belikan jajan di koperasi, bilang sama pa Solik kalau buat guru-guru”, pak Mudlof memanggilku yang kebetulan sedang melintas di depan ruang guru bersana Nike. Ia meminta kami untuk membeli tapi tidak memberi kami uang. Hemm, redaksinya kurang tepat nih pak , padahal beliau kan ngajar Bahasa Indonesia, aah payah. Lebih tepatnya beliau menyuruh kami meminta atau mengambil jajan di koperasi untuk suguhan para guru. Dengan klu “minta jajan untuk guru-guru”, pak Solik, sang penguasa koperasi sekolah kami, akan mengijinkan kami mengambil jajan dengan rupa apa dan jumlah berapa saja. Sistem pembayaran di koperasi sekolah kami menganut sistem ‘swalayan dan full honesty’. Kami dipersilahkan untuk mengambil sendiri jajan yang kami beli, menghitung harganya dan membayarnya sendiri di bekas kaleng biskuit astor yang diletakkan di atas etalase. Tapi sistem itu berlaku buat jajanan makanan dan minuman saja siih… Terlalu sulit pak Solik mengatur anak-anak yang berdesakan di ruang sempit koperasi kami. Bahkan kadang ada beberapa anak yang mengurungkan niatnya ‘njajan’ di koperasi karena enggan berdesak-desakan. Tak jarang pula pak Solik kecolongan ada beberapa anak yang entah sengaja atau tidak yang kurang bayar.
Sambil menenteng masing-masing satu kresek jajanan, aku dan Nike menuju ruang guru. Pak Mudlof sudah siap-siap membawa beberapa piring dan telah menunggu kami. Belum juga kami membagi jajanan ke dalam setiap piring yang dibawa pak Mudlof, suasana mendadak ramai. Kami serahkan saja dua kresek jajannya pada pak Mudlof. Kami tercengang dengan darah yang terlihat berceceran dari tetangga lalu menuju ke ruang guru. Terlihat Pak Imam, salah satu guru Bahasa Indonesia di sekolah kami (kebetulan aku belum pernah diajar beliau) dibopong dari arah tangga sekolah menuju ruang guru. Pak Mudlof cepat-cepat ikut membantu membopong beliau, meninggalkan jajannya dan memberi aba-aba agar aku dan Koni segera kembal ke kelas. Pak Imam terlihat sangat letih sekali setelah memuntahkan banyak darah dari waktu keluar dari kelas II E, Ruang paling pojok utara lantai dua. Aku masih terpaku melihat pemandangan di depanku, sementara teman-teman pada berhamburan keluar melihat pemandangan tak biasa tersebut. Guru-guru yang lain tampak ramai mendiskusikan apa yang harus dilakukan. Terdengar beberapa guru meminta es untuk mengompres pak Imam yang keadaannya sudah lemas sekali. Beliau lalu didudukkan di lantai bersandarkan dinding di depan ruang guru. Beberapa guru lalu sibuk mengompres beliau, entah tujuannya apa, mungkin untuk menghentikan mual dan pendarahannya. Pak Imam tampaknya mulai tak sadarkan diri. Kami sempat melihat beliau diangkat oleh guru-guru yang lain dibaringkan di atas meja guru. Beberapa guru lalu menyuruh anak-anak masuk kelas masing-masing. Lalu ada yang bertugas mengamankan kelas, memastikan bahwa tidak ada yang keluar kelas. Di dalam  kelas kami harap-harap cemas, apa yang terjadi pada guru kami, beliau termasuk guru senior terkenal sabar dalam mengajar. Dulu, ketika aku duduk di kelas lima MI, aku juga pernah diajar beliau, tapi hanya satu pertemuan saja, lalu diganti dengan guru lain. Karena beliau sering sakit, sehingga tidak banyak kelas yang dihandel beliau. Tapi berita terakhir yang kudengar, akhir-akhir ini beliau terlihat sehat dan sumringah. Kami berharap tidak terjadi hal yang menggawatkan pada beliau.
Bel berbunyi panjang lalu suara pengumuman dari kantor mengabarkan bahwa Bapak Imam Subakti sudah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. “Innalillahi wainna ilaihi roji’uun..” tak terasa setiap sudut mata kami meneteskan air mata. Tenggorokkan kami serak, dada kami sesak mendengar berita tersebut, meskipun beliau bukan guru yang mengajar kami, kami merasakan kesedihan yang sangat pada saat itu. Namun, Subhanallah… Sangat mulia cara beliau dipanggil olehNya. Insyaallah beliau syuhada karena oksigen terakhir yang dihirup beliau adalah oksigen majelis ilmu. Dipandu dari kantor,  kami satu sekolah pun menghadiahkan tahlil untuk beliau. Doa dipanjatkan pada beliau dan sekitar empat ratus lebih anggota majelis ilmu mengamininya. Semoga engkau bahagia di sana pak…
***
Tahukah kamu, kejadian tersebut mengingatkan kami kegiatan konyol kami Jum’at sore sehari sebelum kejadian tersebut terjadi. Pak Imam keluar dari kelas II E, kelas yang kami culik meja gurunya, lalu kami menggotong meja tersebut layaknya kereta jenazah.   Entah berlebihan atau tidak jika kami menyebut kejadian itu adalah firasat kami yang tidak kami sadari. Hanya kebetulan memang, tapi bukankah segala sesuatu sudah diaturNya dengan berbagai pertanda-tandanya, yang kita sadari ataupun tidak. 
***end

0 Comments

Posting Komentar

Copyright © 2009 My Graffiti All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.