0

Camilan SBY

Posted by Shofwah on 07.16 in
er         Namanya SBY, atau singkatn dari Stick Bawang Yahut. Snack bawang enak made by ibu saya. Rasanya gurih, renyah dan dijamin kalau makan snack ini rasanya mulut tidak mau berhenti. Hehe.. itu sih komentar dari teman-teman sekontrakan saya. Saya suka membawanya sebagai oleh-oleh kalau saya balik dari pulkam. Teman-teman sekontrakan (BS) sering menanyakannya kalau saya balik dari pulkam. Mereka ketagihaan enaknya camilan buatan ibu saya tersebut. Statement BS mengenai  ‘kalau makan snack ini rasanya mulut tidak mau berhenti’ ternyata terbukti pula ketika saya sangu cemilan ini saat pengabdian di Bali. Teman-teman CSS sekamar saya pada giling tak berhenti saat saya suguhkan SBY ini. Cemilan ini merupakan produk dagangan ibu saya.

0

SEJARAH DESA BUNGAH

Posted by Shofwah on 05.58 in
Gerbang Desa Bungah
Kemasyhuran nama Desa Bungah memang tak perlu diragukan lagi. Desa yang juga sering disebut-sebut sebagai desa para santri ini merupakan salah satu desa dari kecamatan Bungah kabupaten Gresik,  Bungah memiliki tiga dusun antara lain adalah Kaliwot, Dukuh, dan Karangpoh.
Bungah sudah ada sejak 500 tahun yang lalu. Dan Kyai Gede Bungahlah yang pertama kali menyebarkan agama islam di Desa Bungah. Kyai Gede Bungah adalah santri dari Sunan Ampel dan Sunan Giri, yang tidak lain adalah seorang dari sembilan wali, atau yang sering kita kenal dengan sebutan WALI SONGO. Sebelum menyebarkan ajaran Islam di Desa Bungah ini, Beliau pertama kali datang di Desa Ngampel, seberang desa Bungah. Di sana beliau menyebarkan Islam sambil berdagang tembakau, karena sebagian besar masyarakat disana adalah suku ngadat (merokok). Disana beliau berhasil mengajarkan agama Islam dengan baik kepada masyarakat Ngampel, sehingga beliau memiliki santri yang cukup banyak.
Karena belum puas dengan hanya menyebarluaskan agama Islam di Desa Ngampel. Akhirnya beliau memutuskan untuk pergi dan menyebarkan agama Islam di desa lain. Dan di Desa Bungah ini, beliau  memutuskan untuk menyebar luaskan ajaran islam. Beliau menyebarkan ajaran agama Islam di Desa Bungah ini, pertama-tama dengan memanfaatkan pemuda-pemudi sebagai generasi penerus  beliau. Kesenangannya pada pemuda-pemudi melihat taman bunga yang dimiliki dan dibuat sendiri oleh Kyai Gede, membuat beliau ingin menyebar luaskan ajaran agama Islam kepada para pemuda-pemudi. Yang kelak mereka bisa dipercaya untuk menyebarluaskan ajaran agama yang beliau ajarkan kepada mereka. Orang-orang desapun ikut senang melihat taman yang dibuat oleh Kyai Gede Bungah tersebut. Orang yang senang melihat taman bungah tersebut diberi pengetahuan tentang islam dan sekaligus diajak masuk islam oleh Kyai Gede Bungah. Ternyata cara yang digunakan oleh beliau ini cukup ampuh dalam mengislamkan masyarakat di Desa Bungah. Padahal dulu, orang-orang di desa ini sangat lekat dengan maksiat, seperti judi, suka main perempuan, dan senang sekali sabung ayam. Hal itu tebukti dengan banyaknya orang-orang yang masuk islam di Desa Bungah ini dan hampir 100%  orang-orang di Desa Bungah ini memeluk agama islam.
Masjid Jami' Kiai Gede
Sama halnya ketika di Desa Ngampel, di Desa Bungah ini beliau juga memiliki banyak santri. Ajaran agama yang beliau ajarkan mudah siterima oleh masyarakat disekitarnya, karena beliau menyebarkan agama islam dengan dengan faham Aswaja (Ahlussunnah wal jama’ah). Beliau mendirikan masjid di Desa Bungah ini, yang sekarang masjid itu banyak dikenal oleh masyarakat luas dengan sebutan Masjid Jami’ Kyai Gede Bungah. Maka, tak dapat dipungkiri lagi bahwa beliau telah berjasa besar dalam mengajarkan islam kepada setiap orang yang ada di Desa Bungah ini. Karena itu untuk sekarang dan seterusnya beliau dipanggil oleh masyarakat Desa Bungah dan desa lainnya dengan sebutan Mbah Kyai Gede, karena beliau adalah kyai besar bagi warga desa ini. Beliau dimakamkan dibelakang masjid yang beliau dirikan dengan warga Desa Bungah yaitu Masjid Jami’ Kya Gede.                                                                                                                                            
Tulisan ini saya culik dari karya si Unyil, Ulinnuha, adik bungsu saya, dari file tugas ‘sejarah-kls.X’nya. Komentar saya sbg komentator: sepertinya judulnya kurang pas dengan “Sejarah Desa Bungah”. Tidak dijelaskan asal muasal nama Bungah. Rasanya tulisan ini lebih banyak membahas Mbah Kiai Gede yaa.. Oiya, fotonya bagus tuh..^^ Hmm.. tp terlihat sekali penataan kotanya belum cantik, kabel-kabel listriknya semrawut.

0

Shofwah Bukan Aurora

Posted by Shofwah on 22.40 in
Shofwah adalah nama depanku. Nama lengkapku Shofwatul Uyun. Shofwah berarti pilihan; kejernihan. Sedangkan Uyun merupakan jamak dari ‘ainun; mata/ lensa yang menerima cahaya ; sumber. Uyun juga dapat diartikan sebagai mata air. Dalam syair Ibnu ‘arabi, Shofwatul Uyun diartikan sebagai Kejernihan Pandangan.  Namun ayahku yang sudah menyiapkan namaku sejak 14 tahun sebelum kelahiranku, mengartikannya sebagai ‘sejernih-jernihnya sumber’.
Aku suka nama depanku karena nama  ‘shofwah’ terdengar cukup asing dan unik. Walaupun uyun jg unik siiih, seperti kepanjangannya UYUN =Unik (beda dengan yg lain), aYu (cantik, perempuan), lan rUkuN (cinta perdamaian), hehehe.

0

Do'a wudhu dari BMKku

Posted by Shofwah on 22.29 in

Inilah satu-satunya catatan di buku BMKku (Belajar Membaca Kitab) atau Fikih-1(fathul qorib) yg masih terhafal olehku, do’a-do’a wudhu. Pasalnya, empat tahun yg lalu (jaman SMA), menjelang ujian praktik Fiqih, saat mencari informasi mngenai apa saja yang diujikan, ada informasi bahwa salah satu yang diujikan adalah praktik wudlu. Yang menguji praktik wudlu ini adalah Pak Djari, tetangga baruku waktu itu. Hmm, praktik wudlu. Mungkin bukan cuma aspek rukun wudlunya ajah yg dinilai tp aspek sunnah-sunnahnya jg, pikirku. Yang menguji tetanggaku lagi, malu dong, kalau biasa-biasa saja. Berawal dari rasa malu itulah, akhirnya saya ingat bahwa waktu MTs dulu pernah diajari do'a-do'a wudlu lengkap.

0

Firasat Kehilangan Guru Kami

Posted by Shofwah on 22.28 in
         Sebentar lagi ada lomba kelas. Sebagai salah satu pejabat kelas, kami harus mengkoordinasi teman-teman agar kerja bakti bersih-bersih dan mempercantik kelas kami, II A. Oiya, kami adalah aku  dan teman-temanku, ada Nike, Ifa, dan Sisi. Saat ini aku sekolah di MTs. Assa’adah II, sekolah setingkat SMP, namun banyak pelajaran muatan lokal dan agama. Embel-embel “II” berarti “putri”, yaah, sekolahku ini hanya untuk anak-anak perempuan saja. Sekolahku terpisah, jika kau  laki-lak, kau dapat bersekolah di MTs. Assa’adah I. Hari Jum’at kami sepakati sebagai hari kerja bakti. Di sekolahku ini, hari Jum’at merupakan hari libur. Kerja bakti tidak dapat dilaksanakan di hari efektif, karena pada sore harinya sekolah ini ditempati kegiatan belajar mengajar SMP Assa’adah. 
          Kami sangat senang, rupanya teman-teman sekelas sangat antusias. Pembagian kerja didistribusikan sedemikian rupa sehingga pekerjaan menjadi mudah. Ada yang mendapat tugas menyapu, membersihkan ‘sawang-sawang’ sarang laba-laba, membersihkan kaca, hingga mengepel lantai. Kami sebagai pejabat kelas bertugas sebagai pendesain interior kelas, memasang gambar-gambar pahlawan dan gambar-gambar edukatif penunjang belajar, menyusun bank data, mendesain madding kelas, menata bangku dan meja guru agar rapi dan bersih, serta membuat kaligrafi gabus dan kreasi motto kelas.

0

Maaf Teman, Namamu Kutulis di Lembar LJUku..

Posted by Shofwah on 22.14 in
        “Terserah, meskipun Anda adalah Gus, anak Kyai, saat ini Anda tidak patut dicontoh. Menurut aku Anda Terlalu banyak guyonnya. Melihat murid-muridmu terang-terangan buka buku saat ujian, masak sedikit pun Anda tidak menegurnya padahal Anda tahu. Eeeh, malah cengengesan menanggapi guyonan anak-anak pondok itu” begitulah hatiku berbicara  ketika melihat ulah pak As (nama samaran) saat menunggu ujian kami. Saat itu ujian ‘ekonomi’ kelas X, kebetulan aku sekelas dengan anak-anak pondok yang sebenarnya tidak sekelas saat KBM. Aku kelas X-1 sedangkan anak-anak pondok itu dikelaskan dalam X-2.
       Aku cukup kaget ketika melihat ulah anak-anak X-2  saat ujian berlangsung. Hampir jika ada kesempatan walau dalam kesempitan, mereka sederet bangku berusaha keras untuk membuka buku.  Kebetulan yang menjaga ujian ekonomi saat itu adalah pak As, pak guru bujang  yang sudah akrab dengan mereka, sehingga untuk mencontek  buku tidak perlu berusaha keras lagi. Kikikiiki, awalnya aku cekikikan melihat ulah mereka. Tapi entah kenapa akhirnya hatiku tidak kuat lagi melihat hal yang seharusnya tidak dilakukan di dalam kelas yang semakin panas. Mencoba untuk menegur pengawasnya, percuma saja menegurnya, toh pengawasnya tidak pun tau atau tidak mau tau bagaimana aturan ujian semestinya. Terus, apa gunanya dia ada untuk menunggu dan mengawasi ujian ini?
        Yasudahlah, tak kuhiraukan hatiku berbisik. Waktu itu aku optimis sekali karena soal-soal yang ditanyakan persis seperti soal-soal latihan yang disuguhkan di dalam buku. Meskipun jarang dikerjakan dan dibahas bersama, namun aku sudah membuat rangkuman jawabannya. Jadi walau tidak semua kuingat paling tidak, lebih dari 85% aku memahaminya.  Separuh soal telah aku selesaikan, namun lama-lama aku jadi bosan (kaya judul lagu. Hehe) dan terganggu dengan ulah teman-temanku itu. Sudah nyontek buku, pakek nyontek-nyontek ke temen-temennya lagi, rame, gak bagus koordinasinya pula. Sebenarnya tidak waktu itu saja mereka beraksi, setiap ada kesempatan, tak jarang mereka mencoba mencontek buku yang sudah dipersiapkannya. Kalau lagi tidak beruntung, ditunggu oleh pengawas yang adil, baru mereka membatalkan niatnya.  Setelah menyelesaikan soal ujian, aku tidak segera keluar kelas. Aku menunggu waktu habis dan mencoba mengamati teman-teman. Fokusku adalah pada mereka yang benar-benar membuka buku. Aku punya rencana buat mengganjar mereka, meskipun mungkin rencanaku beresiko. Namun entah, hatiku mendorongku untuk melakukannya. Kutulis sebuah memo dibawah lembar jawabanku yang kutujukan pada guru pengajar ekonomi. Disitu kujelaskan apa yang terjadi di kelas, kutulis sekitar 6-8 anak (lupa persisnya berapa) yang benar-benar kusaksikan membuka buku. Entah kekuatan apa yang memberanikanku waktu itu, Aku tidak takut jika nanti akan banyak dimusuhiku.
           Seminggu berlalu, baru saja aku memasuki kelas, terlihat anak-anak berbisik seraya melirik padaku. Aku tak tahu maksudnya apa, sampai akhirnya satu orang menghampiriku. “mb Uy, benar kamu yang mengaduh ke Bu Eni (guru ekonomi, bukan nama sebenarnya) bahwa kami buka buku waktu mengerjakan ujian?” tanyanya padaku. “Deg” aku kaget mendengar pertanyaannya itu. “ Hmm, kok kalian tau. Benar kan, bahwa kalian melakukannya? Pak As saja kalian biarkan tahu, kl Bu Eni tahu, ada masalah?” jawabku seraya mencoba agar tetap tenang. “Aku tidak mengadu teman, aku cuma katakan yang sebenarnya. Mungkin ini salah satu caraku agar kalian jerah”. Aku mencoba menjelaskan maksud apa yang sudah kulakukan itu. “Kemarin, setelah ujian kami dipanggil ke kantor Uy. Nama-nama yang kamu tulis di lembar jawabanmu itu disidang, kami harus mengikuti remedial atau nilainya akan dikurangi, Gara-gara kamu mengadu, orang tua kami terancam dipanggil ” kata seorang lagi menjelaskan. “Coba kalau yang membuka buku adalah teman sekelasmu. Apakah kamu akan mengadukannya juga? Kamu tahu, Rosa, teman sekelasmu juga buka buku, tapi kenapa tidak kamu tulis juga?”, katanya lagi. “Yang kutulis adalah mereka yang kulihat. Siapa yang tahu kalau Rosa juga demikian. Masalahnya aku tidak melihat dia membuka buku, mungkin karena bangkunya di belakangku” jawabku mengelak. “Trus, kamu menyalahkan aku, karena aku tulis namamu di LJUku? Maaf kalau aku salah, aku hanya ingin buat kalian berlaku jujur saja”. “Kami melakukan ini juga untuk menyenangkan dan membantu  orang tua yun, agar nilaiku dapat bagus, dan aku bisa pulang lebih awal tanpa ada remedial. Kamu anak rumahan, tidak pernah merasakan bagaimana jauh dari orang tua”, kata dia beralibi. Mendengar jawabannya itu, hati kecilku tersenyum “hmm, kalau sudah ketahuan begini bukannya. malah mempermalukan orang tua yaah? Okee, niatmu baik, agar tidak diremedi. Tapi caramu salah, kamu harus belajar, baca, bukannya mempersiapkan strategi mencontek yang sukses”. Perseteruanku tidak berlangsung lama, karena bel berbunyi waktu ujian dimulai dan pak guru yang bertugas menunggu dan mengawasi ujian sudah datang.
          “Mbak, katanya Pean ngelaporin anak2 X-2 karena mereka buka buku yah?” Tanya Zaza, teman sekelasku. “Kenapa Pean gak diem ajah, nanti kalau ada teman sekelas kita yang berbuat demikian, mereka akan membalasnya”. “Pasalnya mereka keterlaluan Zaa, nih kemaren bukan yang pertama kalinya aku tahu, kalau gak begitu Zaa, akan diteruskannya kelakuannya itu. Aku mampu berbuat lebih dari Tashdiqul Qolbi, ngrenteg ati ajah. Semoga aku tidak salah, dan jangan salahkan aku yaa…” kataku membela.
             Sejak saat itu teman-teman X-2 berlaku sinis terhadapku. Tapi tidak halnya dengan teman-teman X-1, karena masalah ‘aku melapor’ itu tidak menjadi kabar besar yang menggelegar. Aku bersikap biasa-biasa saja layaknya tidak pernah ada apa-apa, sehingga teman-teman juga bersikap demikian. Sikap sinis teman-teman X-2 juga tidak berlangsung lama. Alhamdulillah, masalah yang tidak dipermasalahkan akhirnya cepat reda.
        Upacara bendera, Bapak kepala sekolah memberikan sambutan pasca ujian. Beliau sedikit menyinggung masalah “berlaku curang dalam ujian, nyontek, buka buku kok alasannya bantu orang tua, hahaha … bla.. bla.. bla” begitulah sedikit potongan sambutan yang aku ingat. Ternyata teman-teman X-2 itu jujur, penjelasan yang dilontarkan kepada Bapak Ibu guru yang menyidangnya di kantor dan yang dilontarkan kepadaku sama. Dalam hati kecil kutersenyum dan mengingat apa kata mereka, aku menghargai niat mereka tapi tidak dengan caranya “… untuk menyenangkan dan membantu  orang tua”.

Copyright © 2009 My Graffiti All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.